Pemkab Jepara Tegaskan Jalankan Tugas sesuai Tupoksi dan Perundang-undangan

JEPARA, Lingkar.news – Sekretaris Daerah (Sekda) Jepara Edy Sujatmiko menyampaikan bahwa pengisian jabatan di lingkungan Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Jepara memerlukan waktu yang lama. Meskipun Pj Bupati memiliki kewenangan melakukan pengisian, akan tetapi hal tersebut harus atas seizin Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

“Proses inilah yang panjang. Diawali minta rekomendasi KASN, lalu Pertimbangan Teknis (Pertek) ke BKN dan Izin Mendagri. Setelah mendapat Pertek BKN dan persetujuan Mendagri, baru dilakukan rangkaian pelaksanaan seleksi rotasi/mutasi,” kata Edy saat berdialog dengan Lingkar TV di Ruang Kerja Sekda Jepara, pada Senin, 4 September 2023, membahas tentang demo yang digelar Forum Komunikasi Ormas Jepara (FKOJ) beberapa waktu lalu di depan Kantor Setda Jepara.

Turut hadir sebagai narasumber pada dialog tersebut, Dekan Baru Fakultas Dakwah dan Komunikasi UNISNU Jepara, Abdul Wahab dan Ketua PC GP Ansor, Ainul Mahfudz.

Ia pun memberi gambaran sebagaimana yang berlaku pada proses mutasi jabatan 8 JPTP yang dilantik pada 15 Agustus 2023 lalu. Pertama, berupa permohonan rekomendasi ke KASN. Hal itu sebagaimana diatur dalam PP Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

“Setelah mendapat rekomendasi pelantikan dari KASN, Pemkab masih harus minta Persetujuan Teknis (Pertek) rotasi ke BKN. Begitu Pertek PPT Pratama dari BKN turun, Pemkab Jepara bersurat ke Mendagri lewat Gubernur untuk memohon Rekomendasi Penetapan dan Pelantikan. Akhirnya baru bisa dilaksanakan pelantikan pada 15 Agustus 2023 yang lalu. Pascarotasi itu, proses pengisian JPTP yang kini kosong langsung dilakukan dengan tahapan serupa,” jelasnya.

Sekda Edy menjelaskan bahwa, pihaknya bersama Pj Bupati melaksanakan tugas sesuai dengan tupoksi masing-masing. Kalaupun ada tugas Pj Bupati yang dikerjakan Sekda, menurut dia, hal tersebut karena Pj Bupati menugaskannya untuk mewakili.

“Seperti misalnya ketika hadir mewakili Pak Pj Bupati dalam beberapa rapat paripurna di DPRD,” ucapnya.

Terkait alokasi stunting sebesar Rp 111 miliar, Sekda Edy menyampaikan bahwa dalam penanganan stunting dikenal program spesifik dan sensitif. Program spesifik adalah program untuk menangani secara langsung kasus anak-anak stunting dan ibu yang memiliki risiko melahirkan anak stunting.

“Sementara, untuk program sensitif untuk menangani hal-hal yang dapat mempengaruhi munculnya stunting yang mempunyai dampak 70 persen. Misal rumah sehat, jamban sehat, air bersih,” imbuhnya.

Pada tahun anggaran 2023 alokasi dana Rp 114 miliar tersebut, kata Sekda Edy, digunakan untuk menangani kasus stunting dengan program sensitif dan program spesifik.

Ia menyebut, sekitar Rp 11 miliar untuk spesifik digunakan untuk belanja antropometri, susu, dan lain-lain. Sekitar Rp 100 miliar untuk intervensi sensitif yang tersebar di beberapa OPD terkait. Seperti DPUPR untuk Pamsimas, Jambanisasi Perkim untuk perbaikan rumah sehat dan DP3AP2KB untuk pendampingan keluarga berisiko.

“Jadi dipastikan tidak ada duplikasi anggaran. Jadi dana Rp 111 miliar tidak seluruhnya dialokasikan untuk program sensitif berupa intervensi gizi langsung ke anak-anak stunting, tetapi Rp 100 miliar justru untuk program program spesifik yang tersebar di 11 OPD,” tegasnya.

Sedangkan terkait dengan defisit anggaran, Edy menjelaskan, perencanaan keuangan daerah adalah tanggung jawab seluruh unsur pemerintahan daerah bukan hanya Sekda yang selaku ketua TAPD.

“Yang sekarang sedang terjadi sebenarnya bukan defisit, dan situasinya masih bisa teratasi. Semuanya berjalan normal, hanya ritme pengeluarannya yang diatur,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia memberikan penjelasan rinci mengenai kekurangan pembiayaan daerah sebesar Rp 80 miliar. Dalam penjelasannya, ada sejumlah perubahan yang menyebabkan kekurangan pendanaan daerah tersebut. Pertama, berkurangnya dana yang bisa digunakan dari pos Silpa akibat aturan defisit anggaran yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan RI.

“Jadi yang terjadi bukan defisit, melainkan kekurangan pendanaan akibat sejumlah perubahan setelah APBD ditetapkan. Kita menganggarkan Silpa sebesar Rp 135,5 miliar. Namun yang riil bisa digunakan hanya Rp 86 miliar. Dari pos ini saja sudah ada uang Rp 49 miliar yang tak bisa digunakan untuk pendanaan akibat aturan yang turun setelah APBD ditetapkan,” jelasnya.

Edy menyebutkan, hal itu diatur dalam Permenkeu RI Nomor 194/PMK.07/2022 tentang Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD, Batas Maksimal Defisit APBD, dan Batas Maksimal Kumulatif Pembiayaan Daerah Tahun Anggaran 2023.

“Kita semula menganggarkan defisit 5 persen. Tapi berdasar peraturan ini, Jepara yang masuk kategori kapasitas fiskalnya rendah, batas maksimal defisitnya hanya 2,2 persen. Makanya tidak semua Silpa bisa kita gunakan,” ujarnya.

Sementara itu, menanggapi aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UNISNU Jepara Abdul Wahab menyampaikan bahwa dalam dunia komunikasi penyampaian pendapat antara komunikator dan komunikan itu diminta untuk memilih yang paling baik.

“Baik saja dalam bahasa tafsir itu tidak cukup. Kalau dalam dunia komunikasi kalau bisa tidak teriak-teriak, kenapa harus teriak-teriak? Itu yang namanya memilih yang paling baik,” kata Abdul Wahab.

Menurutnya, media ini sudah menjadi media yang sangat positif karena ini media untuk melakukan tabayyun, statement Sekda dan Pj Bupati yang sudah dimediakan juga termasuk melakukan tabayyun.

“Di Kabupaten Jepara ini saya lihat hampir tidak ada undang-undang yang harus diketahui publik kemudian disembunyikan, yang memang publik berhak untuk tahu semua terbuka kecuali hal-hal yang sangat privat itu memang ada undang-undang yang melindungi,” jelasnya.

Wahab mengatakan, tugas dari pemangku kebijakan atau pelaksana kebijakan adalah mengklasifikasi atau memberi tabayyun.

“Saya termasuk mengapresiasi Kabupaten Jepara bahwa hal-hal seperti itu sangat diperhatikan. Publik memang berhak tahu, tapi memang yang namanya persepsi publik terhadap kebijakan-kebijakan tertentu itu juga kita sahkan mereka memiliki persepsi tertentu,” tegasnya.

Di sisi lain, PC GP Ansor Ainul Mahfudz berharap, kejadian seperti kemarin di mana ada korban jiwa pada saat unjuk rasa tidak terulang kembali.

“Ketika ingin unjuk rasa semua harus dipersiapkan dengan betul, baik apa yang akan disampaikan nanti, kesehatan, dan lain-lain. Selain itu juga harus sesuai prosedur, lebih baiknya menggunakan media lain seperti audiensi atau hal yang sejenisnya,” kata Ainul Mahfudz. (Lingkar Network | Tomi Budianto – Koran Lingkar)