DBD di Jateng Tembus hingga 6.421 Kasus, 158 Pasien Dilaporkan Meninggal

SEMARANG, Lingkar.news – Jawa Tengah (Jateng) saat ini sedang dihantam kasus Demam Berdarah Dengue (DBD). Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) mencatat kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) tertinggi ada di Kabupaten Klaten dengan 512 kasus. Kemudian Banyumas 489 kasus dan diurutan ketiga Grobogan dengan 466 kasus.

Pihaknya menyebut, ada sebanyak 6.421 kasus DBD sepanjang Januari-Mei 2024. Dari jumlah itu, 158 pasien dilaporkan meninggal dunia. Kasus orang meninggal terbanyak akibat demam berdarah terjadi di Klaten dengan total 25 korban, disusul Kabupaten Jepara 21 orang. Kemudian di Kabupaten Kendal ada 18 orang.

“Klaten menjadi daerah dengan kasus temuan terbanyak, yakni mencapai 512 dengan 25 orang meninggal dunia. Adapun kasus DBD di Jateng paling tinggi terjadi pada minggu ke-12 atau pada April 2024, yakni ketika masuk pergantian musim hujan ke musim kemarau atau saat musim pancaroba. Penyebab (April kasus tertinggi) karena perubahan iklim (hujan ke kemarau),” ujar Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Dinkes Jateng melalui Sub Koordinator Penyakit Menular dan Tidak Menular Heri Purnomo, Sabtu 25 Mei 2024.

Apabila dilihat dari tabel statistik, kasus DBD di Jateng cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2020 di angka 5.678 kasus, lalu turun menjadi 4.468 kasus pada 2021, kemudian mendadak meroket pada 2022 mencapai 12.476 kasus.

“Meski begitu, pada 2023 kasus DBD kembali menurun di angka 6.308 kasus. Namun pada 2024 hingga bulan Mei ini, kasus DBD sudah kembali melonjak di angka 6.421 kasus,” sebutnya.

Ia menyampaikan, ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya kasus DBD. Di antaranya perubahan iklim, gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) tidak berjalan, fogging tidak sesuai indikasi atau hanya dilakukan satu siklus, keterbatasan logistik, kurangnya edukasi masyarakat, hingga penanganan dan diagnosa dini yang terlambat. Oleh karena itu, pihaknya menindaklanjutinya dengan surveilans yang ketat.

“Kemudian setiap kasus dilakukan penyelidikan epidemiologi 1×24 jam setelah diagnosis tegak, fogging sesuai indikasi, dan evaluasi terus secara menyeluruh,” tuturnya. (Lingkar Network | Rizky Syahrul – Lingkar.news)