Karyawan Pabrik Rokok di Kudus Diduga Alami Kriminalisasi dan PHK Sepihak

KUDUS, Lingkarjateng.id – Mantan karyawan PT Nojorono mengaku mengalami dugaan kriminalisasi saat masih bekerja di perusahaan rokok tersebut. Bahkan, usai mengalami dugaan kriminalisasi tersebut dirinya juga terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak.

Rahmad Basuki yang mengaku sebagai korban dugaan kriminalisasi karyawan menceritakan, kejadian tersebut terjadi mulai tanggal 3 Agustus 2022 lalu. Saat itu, ceritanya, dirinya diminta untuk membawa rokok rijek sebanyak 160 batang kepada bagian pemadam kebakaran yang sedang melakukan latihan.

Rokok rijek tersebut merupakan hasil sortiran dari produksi yang tidak layak untuk proses pengepakan. Hasil sortiran itu kemudian ditaruh di kantong plastik untuk proses pengocekan.

Akan tetapi, dirinya dituduh melakukan tindakan pencurian hingga diproses secara hukum. Kasusnya pun telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Kudus dalam salinan putusan perkara pidana nomor 13/Pid.C/2022/PN.Kds.

“Saya dikira mengambil rokok yang sudah siap dikirim karena saya bekerja di bidang ekspedisi atau pengantaran. Tapi itu saya diminta membawakan rokok ke tempat latihan pemadam kebakaran,” katanya.

Bima Agus Murwanto selaku kuasa hukumnya menyampaikan, rokok rijek tersebut biasanya merupakan jatah yang bisa dikonsumsi oleh karyawan. Akan tetapi, kliennya justru ditangkap di kantornya sendiri.

“Padahal itu rokok dikonsumsi di area perusahaannya sendiri. Sudah ada aturan sendiri rokok yang dihisap di area perusahaan atau keluar. Saat pemadam kebakaran latihan kan masih dalam lingkup perusahaan, kalau dari sisi hukum itu tidak bisa dibilang mencuri,” ungkapnya.

Ia mengatakan, dugaan kriminalisasi ini karena adanya arogansi kekuasaan yakni dengan cara menangkap, mengintimidasi hingga melaporkan ke kepolisian dengan tuduhan mencuri beberapa batang rokok.

Kasus ini telah dinaikan ke PN Kudus. Hasil putusan PN Kudus pun menyatakan kliennya bersalah melakukan tindakan pidana pencurian ringan. Denda pidana putusan tersebut yakni sebesar Rp 250 ribu.

Selain dugaan kriminalisasi tersebut, Bima juga menuntut kompensasi adanya PHK secara sepihak. Ia mengatakan, kliennya seharusnya menerima kompensasi PHK senilai Rp 226,50 juta.

Kemudian ditambah upah protes senilai Rp 67,95 juta. Sehingga total uang kompensasi yang harus diterima yakni senilai Rp 294,45 juta.

“Baru dikasih sekira Rp 67 juta dan itu hanya melalui transfer tanpa ada keterangan apapun,” sebutnya.

Kliennya sendiri sudah bekerja di perusahaan tersebut selama 26 tahun. Selama bekerja, kliennya pun tidak pernah ada masalah, catatan jelek atau menerima surat peringatan.

“Pekan ini kami akan ada mediasi ke Disnaker yang akan dibatasi maksimal 30 hari. Jika tidak berhasil, nanti akan melayangkan gugatan terkait pelanggaran hak-hak karyawan,” tandasnya. (Lingkar Network | Nisa Hafizhotus Syarifa – Koran Lingkar)